Menetap Berbekal Bertumbuh Bertambah Renungan Sejarah
Persusuan adalah upaya orang-orang Quraisy untuk menjaga keturunan, dalam hal jumlah maupun mutunya.
Dengan menyerahkan bayinya pada wanita-wanita Badui yang berbicara bahasa ‘Arab murni untuk disusui, selain itu mereka berharap boca-boca itu kelak memiliki kefasihan ucapan, ketinggian sastra, dan kedalaman makna jika berbicara.
Maka begitu pulalah ketika bayi yatim itu, Muhammad Shallahahu ‘Alaihi wa Sallam lahir. Aminah binti Wahb, ibundanya, akhirnya di pertemukan Allah dengan seorang wanita baik hati dari Bani Sa’d yang akan menjadi ibu susu Muhammad. Halimah binti Al-Harits As-Sa’diyah namanya.
“ Aku keluar bersama rombongan para wanita Bani Sa’d yang paling awal menuju Makkah,” tutur Halimah. “ Aku menaiki keledaiku yang berwarna putih kehijauan. Aku keluar bersama suamiku, Al-Harits ibn ‘Abdil ‘Uzza Dari Bani Sa’d ibn Bakr yang didampingi kawannya dari Bani Nadhirah
Dalam perjalanna itu keledaiku terperosok dan luka. Pun, unta betina yang menemani perjalanan kami sudah amat tua, berjalan sempoyongan, dan tak menghasilkan setetes susu pun. Ditambah lagi saat itu sedang musim kering yang amat panas.
Orang-orang kami didera kelaparn yang mencabik perut dan kepayahan safar yang menyiksa. Aku juga saat itu membawa bayiku sendiri, kami tak dapat memejamkan mata karena perut yang perih. Kami tak menemukan sesuatu pun untuk menutupi kebutuhan, selain berharap datngnya hujan. Kambing-kambing kami sangat memelas karena sepanjang jalan tak menemukan air dan rerumputan.
Dalam perjalannya itu, kami selalu berharap hujan dan jalan keluar. Sampai akhirnya akmi pun tiba di Makkah.
Satu persatu, para wanita dari kaumku mendapatkan bayi dari para bangsawan Quraisy. Sementara tak satu pun penduduk Makkah yang berkenan menyusukan anaknya padaku sebab melihat keadaanku yang lemah dan memperhatikan.
Adapun bayi itu, cucu ‘Abdul Muthalib, maka setiap wanita yang diperlihatkan kepadanya, Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, merasa enggan untuk mengasuhnya, setelah dikatan bahwa dirinya adalah anak yatim. Ini dikarenakan kami selalu menaruh harapan kebaikan dan bayaran dari ayah si anak asuh. Kami-kami berkata, ‘Dia yatim, apa gerangan yang diperbuat oleh ibu atau kakeknya?’ maka tak satupun diantara kami tertarik untuk mengambilnya.
Ketika rombongan kami sepakat untuk pulang, aku berbicara pada suamiku, “Demi Allah, sungguh aku tidak suka untuk pulang bersama kawan-kawan wanita yang lain, sebelum mendapatkan anak susuan. Demia Allah, aku akan pergi menuju anak yatim itu, dan pasti aku akan mengambilnya. ‘Diapun menjawab,’Lakukanlah Semoga Allah Memberi kita berkah lantaran anak itu.’Aku pergi menuju rumah Anak itu dan mengambilnya.”
Hari itu adalah hari tersusah bagi Al-Harits ibn ‘Abdil ‘Uzza dan Halimah. Bekal meraka benar-benar tak tersisa. Hanya dengan tekad kuat, merekamemilih untuk mengambil Muhammad. Unta betina meraka juga benar-benar tak lagi dapat diperah ambing susunya, dan kini menderum kelelahan tanpa daya. Keledai tunggangan merka pucat, berkeringat, dan gemetar menahan lapar.
Ketika halimah mengambil bayi yang dihulurkan oleh Aminah binti Wahb lalu menggendongnya, tertiba dia merasa ada yang berubah pada dirinya. Semula ia berjalan dengan mengeletar sempoyongan karenah lelahdan lapar yang menderanya. Tapi begitu bayi itu terpeluk kedua tangannya dan dia dekap ke dadanya, dia merasa segar dan bertenaga. Tepat ketika bayi itu menangis lapar, dengan ragu ia mencoba menyusuinya, penuh khawatir bahwa tak setespun akan keluar meski dihisap kuat-kuat.
Tetapi ajai sungguh, payudaranya terasah penuh, dan saat bayi Muhammad mulai menetek, air susunya menderas begitu dasyat.
“Suamiku bangkit menuju unta milik kami,”ujar Halimah melanjutkan kisah,”ternyata ambing susunya penuh. Ia memerahnya untuk diminum bersamaku hinga kami puas dan kenyang. Kami tertiduk nyenyak di malam yang sangat baik itu. Ketika pagi tiba suamiku berkata,’Demi Allah, ketahuilah wahai Halimah! Engkau telah mengambil seorang bayi yang penuh dengan berkah.’
Aku mengatakan,’Demi Allah, itulah yang aku harapkan.’
Kemudian kami serombongan meninggalkan makkah dengan menunggang keledai. Kubawa anak itu dalam dekapanku. Demi Allah, jarak itu kami tempung dengan tunggangan kami jauh lebih cepat daripada keledai=keledai orang lain. Keledai kami yang semula terpincang-pincang dan nafasnya bagai suara tunku, kini berjalan penuh semangat dengan amat ringan seakan bumi terlipat baginya. Sampai-sampai kawan-kawanku berkata kepadaku,’wahai putrid Al-Harits, sial engkau ini! Tunggulah kami! Bukankah ini keledaimu yang dulu kautunggangi saat berangkat?’
Kukatakan kepada mereka,’Ya, demi Allah benar. Keledai ini adalah keledai yang dulu itu.’Mereka mengatakan,’Demi Allah, sekarang keledaimu tidak seperti dulu!’
Rombongan akhirnya tiba di daerah pedalaman Bani Sa’d yang terlihat bekas-bekas paceklik tahun itu. Terik mentari masih menyengat. Padang pasir dan bebatuan kian membara di puncak siang. Hewan-hewan gembalaan kian kurus dan lemah, menggigil oleh dingin dan lapar dari senja hinga fajar. Rumput yang keringpun diperebutkan. Mata air yang minitis lambat menjadi bahan persaingan antara hewan dan manusia.
Tapi Halimah telah menjadi saksi berkah anak yatim itu. Kebaikan telah memancar kepadanya dari segala penjuru. Kenikmatan meliputinya dalam segala hal. Kemudahan mendatanginya dari aneka jalan tak terduga.
Kambing-kambing selalu keluar menuju ke tempat penggembalaan bersama kambing-kambing orang lain. Ketika kembali kekandang selalulah ambing susu ternak mereka penuh. Sedang gembalaan orang lain selalu pulang dengan keadaan sebagaimana ketika pergi sehinga kaumnya mencerca tukang gembala mereka.
Pun kambing-kambing itu beranak pinak, berlipat lebih banyak disbanding milik para tetanga. Unta-unta milik Al-Harits ibn ‘Abdil ‘uzza juga pesat berkembang biak. Seluruh ternak meraka gemuk dan sehat. Seisi rumah diliputi keceriaan dan cinta. Anak-anak di keluarga itu tumbuh sempurna tanpa diganggu penyakit dan bahaya.
Sungguh bayi yatim itu membawa berkah.
Comments
Post a Comment